Damar Wijaya berdiri di depan gerbang Ibu Kota Nusantara. Plang besi seberat dua ton itu tergantung miring, hanya ditahan oleh dua baut yang sudah berkarat. Sebagian huruf-hurufnya sudah lenyap, menyisakan tulisan “AT DI ANTARA” yang terlihat seperti lelucon pahit. Ia mengusap permukaan logam itu dengan jari-jarinya yang bergetar. Masih terasa hangat oleh terik matahari siang.
Di belakangnya, Aji meludahkan sirih merah ke tanah. “Tahun lalu,” katanya sambil mengunyah, “ada menteri potong pita sepanjang delapan kilometer di sini. Katanya mau pecahkan rekor dunia.”
Damar menendang sobekan pita emas yang tergeletak di tanah. Sekarang menjadi sarang bagi koloni semut merah. Semut-semut itu berbaris rapi membawa potongan-potongan kecil pita ke dalam liang mereka.
“Pecahin rekor? Haha. Yang pecah cuma harapan buruh tukang angkat pasir. Mereka janji upah tinggi, tapi gaji tiap bulan selalu telat.”
Aji memandangi langit biru yang mulai diselimuti kabut asap dari hutan yang terbakar entah karena apa. “Mungkin nanti kalau kota ini benar-benar mangkrak, bisa masuk rekor dunia juga. Kota termahal yang nggak pernah selesai dibangun.”
Damar tidak menjawab. Matanya tertuju pada sebuah mobil mentereng yang melintas pelan di jalanan retak, dengan pengawalan ketat. Di dalamnya duduk seorang pejabat, mengenakan dasi biru langit dan senyum yang tak pernah pudar.
***
Gedung Arsip Nasional IKN berbau seperti kertas basi yang bercampur dengan aroma kencing tikus. Bau itu menyusup ke pori-pori kulit, menempel seperti kenangan buruk.
Damar membuka laci besi nomor 17 dengan kunci yang sudah berkarat. Isinya: tiga botol arak lokal kosong, dua kondom bekas yang sudah mongering, sebuah buku catatan biru dengan sampul berlumur jamur.
Buku itu terbuka sendiri di halaman pertama:
“Hari pertama kerja. Janjinya upah 300 ribu sehari. Dapat cuma 150. Katanya potongan jaminan sosial. Aku nggak ngerti. Yang penting bisa kirim uang buat anak.”
– Laras, 12 Oktober 2035
Ada noda coklat di sudut halaman. Kopi atau darah. Damar tidak bisa memastikan.
Di pojok ruangan, sebuah komputer tua masih menyala. Layarnya berkedip-kedip. File bernama “Laporan Pembangunan Triwulan IV” terbuka. Di situ tertulis: “Progres 98%.”
Damar tersenyum getir. Padahal gedung-gedung itu belum punya atap. Listrik sering mati. Air bersih sulit didapat. Dan korban kecelakaan proyek tidak pernah dicatat secara resmi.
***
Sri Wahyuni muncul di pintu ruangan. Seragam dinasnya masih rapi, tapi matanya seperti kuburan tak bertanda. “Kau tahu berapa banyak Laras-Laras lain di sini?” suaranya parau. “Tiga ratus tujuh puluh dua. Yang resmi.”
Damar menutup buku itu perlahan. “Dan kau? Berapa mayat yang sudah kau kuburkan?”
Dengan gerakan mahir, Sri mengeluarkan pistol dari laci. Bukan untuk menembak Damar, tapi untuk membuka sebotol whisky murahan. Ia minum langsung dari botolnya, tanpa ragu.
“Jumlah mayat itu rahasia negara,” katanya. “Yang penting, mereka tidak akan bangkit lagi. Tidak seperti harapan kita.”
Damar duduk di kursi plastik yang sudah rusak salah satu kakinya. “Kau dulu aktivis, kan?”
Sri mengangguk. “Dulu. Sekarang aku birokrat. Biar bisa masuk ke ruang rapat. Biar bisa dengar sendiri omong kosong para menteri. Biar bisa tahu siapa yang benar-benar bertanggung jawab atas segala ini.”
“Dan?”
Sri menatap lubang di langit-langit yang tembus ke udara bebas. “Tidak ada yang bertanggung jawab. Semua saling tunjuk. Semua bilang ‘kami hanya pelaksana’.”
***
Tahun 2032. Sri muda berdiri di depan gedung DPR dengan kemeja kotak-kotak pemberian ayahnya. Teriakannya menggema di antara kerumunan massa: “IKN cuma akan memindahkan korupsi, bukan pusat pemerintahan!”
Di tengah kerumunan, Laras dengan seragam buruh bangunannya yang kotor menyodorkan sebotol air mineral. “Kami juga demo di proyek, Mbak. Tapi ditangkepin.”
Malam itu, di pengungsian darurat, Laras berbisik kepada Sri: “Suamiku gantung diri seminggu yang lalu. Gaji nunggak setahun. Katanya ini proyek strategis nasional.”
Sri memeluk wanita itu. Tangis Laras seperti deretan bom waktu yang meledak satu per satu.
Beberapa bulan kemudian, Sri menerima surat dari pemerintah. Ia ditawari posisi sebagai koordinator administrasi proyek IKN. Gajinya besar. Tunjangan melimpah. Fasilitas lengkap.
Ia terima surat itu. Untuk bisa masuk ke dalam sistem. Untuk bisa mengorek lebih dalam. Untuk bisa melihat dari dekat wajah-wajah pembunuh harapan.
***
Laras muncul tiba-tiba di ruang rapat utama. Ia duduk di kursi menteri, tangannya memegang palu sidang dengan erat. “Kenapa tidak ada yang dihukum?” tanyanya. Suaranya bergema di ruangan kosong itu.
Sri menjawab dengan suara bergetar: “Karena di sini yang salah selalu kita. Yang benar selalu mereka.”
Laras tersenyum. Tiba-tiba mulutnya robek sampai ke telinga. “Kalau begitu, aku pulang dulu. Anakku nunggu di tenda.”
Damar yang sedang merekam percakapan itu dari balik tirai tebal, menutup mikrofonnya. “Ini tidak bisa terus begini,” bisiknya.
Sri menatap layar monitor yang menunjukkan data kecelakaan proyek. Angka-angka itu naik setiap hari. Tapi di laporan resmi, jumlahnya selalu tetap.
***
Hujan mengguyur deras, membasahi beton-beton yang retak. Sri dan Damar berdiri di tepi lubang galian yang sudah berubah menjadi kubangan lumpur.
“Kau mau ke mana?” tanya Damar, suaranya hampir tenggelam oleh deru hujan.
“Jakarta,” jawab Sri pendek. “Aku akan temui mereka satu per satu.”
“Kau tahu itu bunuh diri.”
Sri memainkan kalung kayu ulinnya yang sudah patah. “Lebih baik daripada mati perlahan di sini.”
Damar menatap wajah Sri yang basah oleh hujan. Di matanya, ia melihat bayangan ribuan orang yang telah hilang. Orang-orang yang tidak sempat bicara. Yang tidak sempat protes. Yang hanya menjadi statistik.
“Aku ikut kau,” kata Damar akhirnya.
Sri tersenyum. “Aku tahu. Itu sebabnya aku menunggu kau sampai hujan turun.”
***
Musim kemarau tiba. Sungai Sepaku yang dulu meluap kini mengering. Sebuah tas kulit muncul dari lumpur yang mengeras. Aji yang menemukannya pertama kali.
Isinya: Surat pengunduran diri Sri yang sudah basah, foto Laras dan anaknya yang sudah buram, Laporan kecelakaan proyek dengan banyak coretan dan revisi, 372 keping kuku manusia dalam kantong plastik
Aji menemukan Damar sedang memandangi tas itu. “Katanya di Jakarta ada demo besar,” bisik Aji. “Dipimpin perempuan.”
Damar tidak menjawab. Ia mengambil buku catatan Laras dan menulis:
“Kita semua adalah angka-angka yang menunggu untuk dijumlahkan, lalu dibagi, dan akhirnya dibulatkan menjadi nol.”
***
Angin malam berbisik melalui besi-besi bengkok yang tersisa:
“Di sini pernah ada kota bernama masa depan.”
“Di sini pernah ada mayat bernama harapan.”
“Di sini sekarang hanya ada kita.”
Dan sungai Sepaku yang kelelahan pun diam, menyimpan semua rahasia di dalam lumpurnya yang hitam.
Cerpen dari Pena patah
4 minggu lalu
Ibu kota Nusantara itu sebenarnya sudah hanya ,hanya ada Pekerjaan kegiatan baru tahun anggaran 2025..
Yang mengatakan kota yang tidak pernah selesai.. sewaktu peringatan 17 Agustus 2024. itu kan terlaksana..yg belum selesai yang memang pekerjaan Baru…,jika ada plang nama dll..itu kan jika proyek itu belum diserahkan oleh pihak ketiga,maka pemerintah..tidak akan mau menerima pekerjaan tsb.. maka pelaksana pekerjaan harus mengganti yg baru.maka tidak akan membayar..jika ada pekerja terlambat dibayar gaji nya..itu bukan tanggung pemerintah.tapi Itu tanggung jawabnya kontraktor pelaksana.. perjanjian nya pekerjaan Selesai 100 % baru di bayar lunas…