x

Doa yang Tak Tumbuh di Tanah Tambang

waktu baca 5 menit
Senin, 16 Jun 2025 09:30 0 86 PPU

Di kampung itu, doa-doa tidak lagi naik ke langit. Mereka terperangkap di antara debu, dan gugur bersama hujan yang asin, turun ke tanah yang sudah mati. Tanah yang dulunya menumbuhkan sagu, pisang, dan kabar baik dari musim panen. Kini, tanah hanya menumbuhkan keluh, keresah, dan kadang, penyakit.

Duma tahu ini bukan perasaan semata. Ia melihatnya sendiri. Ia mencium bau solar dari sungai yang dulu menjadi tempatnya mandi masa kecil. Sungai itu kini menghitam seperti duka yang tak pernah dibicarakan. Airnya tak lagi mengalir; ia mengendap, menunggu siapa yang cukup nekat untuk menyentuhnya.

Anaknya, Iqan, baru berumur sembilan tahun. Tubuhnya kecil. Matanya cekung. Sejak tambang masuk tiga tahun lalu, batuk dan demam menjadi sahabat karib tubuh kecilnya. Ia tak pernah benar-benar sehat. Tapi ia juga tak pernah benar-benar sakit, cukup untuk dirawat. Seperti kampung ini, yang tidak mati, tapi juga tidak hidup.

“Bu, bolehkah aku bertanya?” kata Iqan di suatu sore.

“Tanya saja, Nak.”

“Kalau Tuhan tahu kita menderita, kenapa Tuhan tidak menolong kita?”

Duma terdiam lama. Ia hanya bisa menggenggam tangan anaknya, erat, seperti menggenggam tanah yang terus merekah.

***

Lelaki dari kota itu datang bersama rombongan. Ia mengenakan batik, berpeci, dan membawa kamera. Ia berbicara pelan, dengan logat Jakarta yang sopan dan licin.

“Kami dari tim media. Kami ingin mendokumentasikan proyek pembangunan nasional di sini. Ini untuk energi hijau masa depan.”

Warga menyambutnya dengan setengah hati. Sebagian bahkan berharap mereka membawa obat, bukan pertanyaan. Tapi mereka tetap diam, karena diam sudah menjadi bagian dari hidup yang lama.

Duma memperhatikan dari kejauhan. Ia melihat bagaimana wartawan itu berdiri di depan alat berat dan berbicara tentang kemajuan, sambil mengabaikan kubangan air logam di sekitarnya.

Keesokan harinya, di media sosial, beredar cuplikan video: “Indonesia menuju energi bersih, didukung masyarakat adat.”

Duma tertawa. Pahit.

***

Di mushola kecil yang catnya mulai terkelupas, khotbah Jumat berubah arah. Imam muda yang dulu mengaji di pesantren kini menjadi penghubung antara warga dan perusahaan. Ia menyebut mereka yang menolak tambang sebagai “penghalang rezeki”. Sebagai orang yang melawan niat baik negara.

Lalu, datanglah kata itu: Wahabi Lingkungan.

Bukan Duma yang pertama mendengarnya. Tapi ia mendengar desas-desus, lalu potongan video, lalu komentar dari orang-orang yang menyebut warga yang menolak tambang sebagai ekstremis. Radikal. Tidak kompromistis.

“Katanya kita ini Wahabi Lingkungan, Bu,” kata Bastian, keponakannya yang ikut demo dua minggu lalu.

“Artinya apa itu?”

“Yang terlalu fanatik menjaga alam. Yang menolak tambang. Yang keras kepala.”

Duma mengangguk. Ia tahu Wahabi itu dulu istilah untuk yang keras dalam agama. Tapi kini, alam pun dianggap agama baru jika dijaga terlalu serius.

Di media sosial, ada debat. Ulil, tokoh cendekia dari ibukota, menyebut bahwa ada kemiripan antara Wahabi dan pejuang lingkungan: keduanya, katanya, menolak kompromi. Ia menuduh mereka menyempitkan makna maslahat, menghalangi pembangunan yang lebih luas.

Tapi tak ada yang datang ke kampung ini untuk bertanya apa yang benar-benar terjadi.

***

Ayub adalah tetua kampung. Dahulu ia seorang guru. Kini, ia lebih sering duduk di bawah pohon jati yang tersisa, mengisap rokok linting, dan mengingat kampung sebelum tambang.

“Mereka menyebut kita Wahabi karena mereka takut pada yang tak bisa dibeli,” katanya suatu malam.

“Tapi mereka bilang kita menolak kemajuan, Pak,” kata Bastian.

“Kemajuan siapa? Kalau kamu membangun istana di atas kuburan, apakah itu masih disebut pembangunan?”

Ayub adalah satu dari sedikit orang yang berani berbicara. Ia menulis surat, petisi, bahkan pergi ke kantor kabupaten. Tapi ia hanya mendapat senyum dingin dan kata-kata manis yang menguap di ruang ber-AC.

***

Imam kampung dulunya kawan Ayub. Mereka belajar mengaji bersama. Tapi ketika perusahaan datang, Imam berubah. Ia mendapat jabatan. Ia naik haji lewat dana CSR.

“Aku hanya menjalankan maslahat,” katanya ketika ditanya Ayub.

“Maslahat siapa? Umat atau tuan modal?”

Imam tersenyum. “Ini zaman baru. Harus ada yang berkompromi.”

***

Pada hari ke-120 sejak lubang tambang diperluas, Iqan muntah darah. Duma membawanya ke Puskesmas. Dokter berkata ini bisa karena infeksi air.

Air yang sama yang dulu bening. Yang kini berwarna teh susu.

Di rumah, Duma membuka Alquran tua peninggalan ibunya. Ia membaca doa-doa lama. Tapi kali ini, ia tak berharap mukjizat. Ia hanya berharap, mungkin, satu bibit tumbuh. Di halaman, ia menanam satu pohon kelor.

***

Di Jakarta, seminar tentang keberlanjutan diselenggarakan di hotel berbintang. Slide presentasi menunjukkan peta Indonesia dengan titik-titik tambang sebagai cahaya harapan.

Seorang panelis berkata, “Lingkungan butuh aktivisme yang masuk akal. Bukan Wahabisme.”

Tepuk tangan menggema. Tak ada yang bertanya, apakah kampung Duma ada di peta mereka.

***

Duma tak pernah menulis opini. Tapi suatu hari, ia mengirim surat ke redaksi koran. Surat itu tak dimuat. Tapi ia menyalin isinya di dinding rumahnya, dengan cat hitam:

“Kami tidak ekstrem. Kami hanya ingin air bersih. Jika itu disebut radikal, maka barangkali dunia ini sudah terlalu nyaman dalam ketidakadilan.”

Pohon kelor yang ia tanam tak tumbuh. Tapi anaknya, suatu pagi, tersenyum.

“Aku bermimpi, ada sungai jernih datang kembali.”

Duma tersenyum. Barangkali, di kampung ini, doa tidak tumbuh di tanah tambang. Tapi tumbuh di hati anak-anak yang belum belajar takut.

Dan mungkin, itu sudah cukup untuk mulai melawan.

Sungai Cikumpa, Juni 2025

Cerpen: Pengisah Digital

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
x