x

IKN Nusantara untuk Siapa?

waktu baca 5 menit
Selasa, 7 Feb 2023 03:01 0 217 PPU

KEPUTUSAN untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) patut diberi apresiasi yang tinggi.

Baru di masa Presiden Jokowi ini, rencana pemindahan ibu kota terwujud. Setelah hanya menjadi wacana sejak era pemerintahan Bung Karno dahulu.

Sebenarnya, pemindahan ibu kota yang mulai dilakukan pemerintah Indonesia saat ini, bisa dikatakan sudah agak terlambat.

Sudah banyak negara-negara lain di dunia yang terlebih dahulu memindahkan ibu kotanya demi memisahkan pusat pemerintahan dengan pusat pertumbuhan ekonomi, seperti Brasil, Australia, India, Pakistan, Nigeria, Jerman, Malaysia, Filipina, Miyanmar, dan sebagainya.

Wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur itu, setidaknya telah menemukan momentum yang tepat.

Seiring daya dukung DKI Jakarta yang dianggap sudah terlalu berat menanggung beban, sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan dan jasa.

Momentum transformasi

Pemindahan ibu kota juga bisa dianggap sebagai wujud transformasi pembangunan Indonesia, dari yang sebelumnya terkesan lebih dinikmati oleh Pulau Jawa (Jawa sentris).

Porsi pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa, dari tahun ke tahun selalu berkisar di angka 60 persen dari PDB Nasional, dengan 30 persen berasal dari Provinsi DKI Jakarta.

Maka, pembangunan ibu kota baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, diharapkan dapat menumbuhkan pusat ekonomi baru di luar Pulau Jawa.

Sehingga karakter pembangunan nasional yang selama ini terkesan Jawa sentris atau Jakarta sentris, dapat segera diubah, menjadi Indonesia sentris.

Kebijakan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur bukan saja dilihat dari transformasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih merata, namun juga bisa dijadikan semacam contoh (showcase) kemajuan dan transformasi Indonesia di berbagai lini.

Baik dari segi lingkungan, cara kerja, basis ekonomi hijau (green economy), dan teknologi.

Selain juga peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan, serta tata sosial yang toleran dan menjunjung etika publik.

Kita membayangkan, bahwa nantinya IKN di Kalimantan Timur akan menjelma sebagai kota baru yang smart dan kompetitif di tingkat global.

Sebuah kota yang mampu menjadi lokomotif baru untuk transformasi Indonesia menuju negara yang inovatif, dan berbasis pada teknologi dan green economy.

Kearifan lokal

Mengutip pernyataan Presiden Jokowi, bahwa gagasan memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, bukan sebatas memindahkan secara fisik bangunan.

Bahwa menurut Presiden, pindah ibu kota adalah pindah cara kerja, pindah mindset dengan berbasis pada ekonomi modern dan membangun kehidupan sosial yang lebih adil dan inklusif.

Pernyataan itu tentu saja mengingatkan kita pada prinsip pembangunan yang juga memperhatikan sisi kemanusiaan, yang tidak terkecuali bagi warga lokal.

Maka dalam pembangunan IKN, pemerintah diharapkan mampu memperhatikan beberapa sisi pembangunan yang lebih humanis dan tidak melulu pada pengejaran pembangunan fisik semata, antara lain:

Pertama, mengakomodir partisipasi masyarakat lokal. Seperti kita ketahui, bahwa IKN bukan dibangun di wilayah yang tidak bertuan.

Di sekitar lahan IKN seluas 256,1 ribu hektar, telah didiami masyarakat adat sejak tahun 1963.

Pembangunan IKN tentu akan menimbulkan perpindahan dan penambahan penduduk, yang berpotensi menggerus masyarakat sekitar.

Maka, sudah seharusnya dalam proses pembangunan IKN, pemerintah mampu mengakomodir partisipasi masyarakat lokal. Mereka pada akhirnya jangan menjadi kalangan yang tergusur dari gemerlapnya pembangunan IKN.

Warga lokal harus menjadi elemen penting dari keberadaan IKN, antara lain dengan proses pemberdayaan dan pengembangan kualitas SDM.

Hal ini penting demi mencapai harapan yang diinginkan Presiden Jokowi, bahwa pemindahan IKN bukan sekadar pemindahan bangunan gedung, namun pemindahan mindset pembangunan yang lebih adil dan inklusif.

Kedua, memperhatikan kearifan lokal dan adat istiadat. Kearifan lokal dan kebudayaan masyarakat lokal, yang memengaruhi cara hidup secara turun temurun, harus terus dilestarikan dan dapat dimanfaatkan bagi pembangunan ibu kota negara.

Pemahaman yang komprehensif mengenai karakteristik sosial, ekonomi, maupun budaya masyarakat, akan membantu Indonesia mewujudkan IKN yang “Smart, Green, Beautiful, dan Sustainable”.

Sehingga pembangunan IKN tidak melupakan, bahkan tidak mencabut unsur kearifan lokal, adat, dan budaya yang sudah hidup di sana secara turun temurun.

Ketiga, perlu mengakomodir putra daerah di dalam Badan Otorita IKN. Berbeda dengan Provinsi lain, IKN adalah wilayah yang berbentuk badan otorita, serta dipimpin oleh seorang kepala Badan Otorita.

Maka untuk mewujudkan pembangunan IKN yang mampu mengakomodir partisipasi lokal dan kearifan lokal, maka sudah sewajarnya Badan Otorita IKN dipimpin oleh putra daerah.

Kepala badan Otorita IKN, seharusnya bukan hanya sekadar cerdas dan punya keberanian menjalankan proyek infrastruktur dan administrasi pemerintahan.

Kepala otorita harus mempunyai kepekaan dan kemampuan dalam melihat potensi maupun kearifan lokal setempat.
Kepekaan itu sangat penting agar masyarakat serta pemangku kepentingan lain di Pulau Borneo dapat digerakkan mendorong akselerasi pembangunan IKN dan di wilayah Kalimantan pada umumnya.

Untuk itulah, putra daerah Kalimantan sangat layak diberikan kepercayaan memimpin IKN, karena relatif sudah lebih mengenal kekhasan wilayah.

Dan yang terpenting memiliki sensitifitas menjaga kelestarian ekologi Kalimantan, yang sejak dahulu merupakan bagian dari paru-paru dunia.

Pada akhirnya, kita berharap pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur akan menjadi anugerah, bukan saja bagi Pulau Kalimantan, namun juga seluruh wilayah Indonesia pada umumnya.

Namun, selain dampak ekonomi dan transformasi pembangunan Indonesia, keberadaan IKN juga perlu memperhatikan sisi kearifan lokal serta kelestarian ekologi Kalimantan.

Dengan begitu, pembangunan IKN bukan semata-mata mengenai pertumbuhan ekonomi, tapi juga harus dapat menghindari investasi yang merusak sisa hutan di Kalimantan dalam jangka panjang.

Apa guna kemajuan ekonomi, kalau hutan Borneo (heart of Borneo) tinggal menjadi histori atau kenangan bagi anak dan cucu belaka.

Editor : Sandro Gatra

Sumber: Kompas.com – 19/02/2022

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
x